Saat ini muncul ketidakpastian yang berlangsung, khususnya dalam dunia perdagangan valas. Para trader forex pun juga mengalami masa-masa yang cukup sulit sehingga hanya mereka yang profesional dan berpengalaman cenderung mampu bertahan.
Masalah yang terjadi pada FX tersebut seperti yang dikemukakan oleh HFR atau Hedge Fund Research. Sebuah institusi yang memang bergerak di bidang provider industri Hedge Fund.
Kabarnya indeks currency untuk HRF sempat anjlok hingga menembus 4,37%. Angka ini berada di dua tingkatan paling rendah selama 4,5 tahun terakhir. Kabar ini sudah pasti memberikan dampak yang kurang menyenangkan bagi para trader atau orang-orang yang ada di lingkup HFR tersebut.
Selain itu, kabarnya penurunan ini juga termasuk yang paling besar sejak HRF dibentuk di tahun 2008. Jadi angka 4,37% ini merupakan angka yang paling “mengerikan” sejak 15 tahun sejak berdirinya.
Bagi yang belum tahu, indeks currency dari Hedge Fund Research ini memberi informasi seputar kinerja dari pengelola investasi currency. Laporan yang disuguhkan nanti dalam bentuk bulanan.
Kemudian, ada kurang lebih 40 indeks milik HFR yang hadir dengan beragam aset. Di antara banyaknya aset tersebut hanya pada indeks currency saja yang diketahui mengalami pelemahan di sepanjang tahun 2022.
Dengan kata lain, banyak trader forex yang mengalami kerugian. Di sepanjang tahun, kabarnya bulan ke-10 atau Oktober menjadi bulan yang paling buruk. Banyak trader yang mengeluh akan hal ini karena kerugian yang mereka alami tidak bisa dikatakan sedikit.
Penyebab Lain Menurunnya Aset Currency
Selain itu, kondisi setelah dihantam Covid-19 juga masih memberikan dampak terhadap perekonomian global. Memang virus Corona tersebut sudah berlalu dan sudah banyak orang mulai melakukan aktivitasnya.
Meskipun begitu, tidak serta merta aktivitas bisa pulih seperti sedia kala. Butuh waktu yang terkadang relatif lama untuk benar-benar memulihkan kondisi ekonomi.
Mungkin kamu menyadari bahwa ada negara yang mampu bangkit dalam waktu singkat. Kemudian negara tersebut survive dan tinggal melanjutkan programnya. Akan tetapi, tidak sedikit juga negara yang butuh waktu lebih lama dan bahkan lebih dari yang diperkirakan untuk bisa bangkit.
Inflasi tinggi pun tidak bisa dihindari. Sementara itu, kondisi ekonomi di negara China beda lagi. Jika sebelumnya negara tersebut kondisi ekonomi melambung tinggi, namun sekarang mulai mengalami perlambatan. Bahkan menurut informasi, China kemungkinan akan mengalami stagflasi.
Kebijakan Moneter dari Bank Sentral Menjadi Penyebab Kerugian
Selain itu, tidak jarang kebijakan moneter dari bank sentral malah memberikan semacam “rasa kaget” terhadap pada trader forex. Kondisi tersebut menjadi indikasi mengapa kepercayaan market terhadap Central Bank ini mulai menurun.
Penurunannya pun bahkan cukup signifikan. Sebenarnya bank sentral juga tidak memiliki banyak opsi. Tingginya inflasi menjadikan bank sentral Rusia dan Brasil pada akhirnya harus menaikkan suku bunga secara agresif.
Di Turki, bank sentralnya malah menurunkan suku bunga padahal negara tersebut juga mengalami inflasi tinggi. Bagaimana dengan Bank of England atau BoE?
Sementara BoE yang awalnya diprediksi akan menaikkan suku bunga ternyata malah mempertahankannya. Hal yang sama dilakukan RBA atau bank sentral Australia yang cenderung mengesampingkan ide untuk menaikkan suku bunga. Padahal di negara tersebut inflasi telah mencapai target.Lalu The Fed atau bank sentral AS memutuskan pengurangan atau tapering terhadap nilai program pembelian aset alias QE atau quantitative easing. The Fed kabarnya juga bersabar dan menunggu sampai tidak ada opsi lain selain juga meninggikan suku bunga.